Desa Pakraman
DESA PAKRAMAN
Selain istilah desa Dinas dalam suatu pemerintahan, di Bali dikenal juga istilah Desa Pakraman yang merupakan lembaga tradisional dan dikenal semenjak jaman kerajaan dan keberadaany adilestarikan dan berkembang baik sampai saat ini, istilah desa pekraman di Bali dikenal juga dengan nama desa Dresta ataupun desa Adat, yang memiliki wilayah ataupun ruang lingkup yang terdiri dari beberapa dusun/ lingkungan/ desa Dinas yang dikepalai oleh kepala Desa. Tapi tidak menutup kemungkinan satu desa Dinas terdiri dari beberapa desa Pakraman.
Desa ini merupakan kesatuan dari masyarakat hukum adat di bali yang mana memiliki satu kesatuan tradisi, tata krama pergaulan hidup dan sosial dalam ikatan hukum adat yang berbeda antara antara satu desa dengan desa yang lain.
Desa ini merupakan kesatuan dari masyarakat hukum adat di bali yang mana memiliki satu kesatuan tradisi, tata krama pergaulan hidup dan sosial dalam ikatan hukum adat yang berbeda antara antara satu desa dengan desa yang lain.
Desa Pakraman memiliki ikatan turun temurun di Kahyangan Tiga
yang terdiri dari Pura Desa, Puseh dan Dalem Setra, memiliki wilayah-wilayah
tertentu, aset-aset tanah milik desa, sehingga ada diistilahkan tanah ayah desa
(tanah milik desa yang ditempati oleh warga setempat) dan berhak mengurus rumah
tangga sendiri.
Konsep terbentuknya Desa Pekraman sungguh sangat mulia, tujuannya untuk pemersatu masyarakat Bali, ide ini dicetuskan dan dibentuk oleh Mpu Kuturan di tahun Isaka 932 (1001 masehi) lewat pertemuan yang dikenal dengan nama Samuan Tiga, dan pada saat inilah terbentuk dan berdirinya Desa Pakraman.
Konsep terbentuknya Desa Pekraman sungguh sangat mulia, tujuannya untuk pemersatu masyarakat Bali, ide ini dicetuskan dan dibentuk oleh Mpu Kuturan di tahun Isaka 932 (1001 masehi) lewat pertemuan yang dikenal dengan nama Samuan Tiga, dan pada saat inilah terbentuk dan berdirinya Desa Pakraman.
Dalam perkembangannya setelah penjajahan Belanda, ada istilah desa
tradisional yang berkembang menjadi Desa Adat, dan pengertian adat dan pekraman
menjadi kabur ada yang masih rancu dan bingung, sehingga pada saat reformasi di
tahun 2003, istilah Desa Pekraman dikembalikan eksistensinya dan kembali lagi ke
konsep aslinya, sehingga desa Adat, Pekraman dan Dresta itu adalah satu dengan
istilah yang berbeda.
Akibatnya, di Bali ada dua desa, yaitu “desa yang telah ada” dan “desa baru”, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.
“Desa yang telah ada” ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “desa adat”, sedangkan “desa yang baru” (yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda), dikenal dengan sebutan “desa dinas”.
Tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kernerdekaannya. Keberadaan dua desa di Bali beserta tugas-tugas yang dilaksanakan oleh masing-masing desa, tetap dipertahankan.
Inilah yang menyebabkan, sampai sekarang di Bali ada dua desa, yaitu “desa adat” dan “desa dinas”.
Tahun 2001: istilah desa adat diganti menjadi desa pakraman, berdasarkan Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Inilah yang menyebabkan, sampai sekarang di Bali ada dua desa, yaitu “desa adat” dan “desa dinas”.
Tahun 2001: istilah desa adat diganti menjadi desa pakraman, berdasarkan Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Perda Provinsi Bali Nornor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menentukan sebagai berikut:
Desa pakraman adalah “kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” (pasal 1 no urut 4).
Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakrarnan (Pasal 1 nomor urut 4).
Dengan demikian dapat dikemukakanbahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali.
Sebuah desa pakraman, terdiri dan tiga unsur, yaitu: (1) unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu); (2) unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu); (3) unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang guna kaya).
Unsur-Unsur Desa Adat/Desa Pakraman
Desa pakraman terdiri
dari tiga unsur, yaitu : (1) Unsur parahyangan (berupa
pura atau tempat suci umat Hindu). (2) Unsur pawongan (warga
desa yang beragama Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah desa
yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya).
Tipe Desa
Pakraman
Berdasarkan berbagai
tradisi dominan yang menjadi ciri desa adat,
MPLA Bali (1990 :1991, Dherana, 1995) membedakan desa
adat atas tiga tipe, yaitu :
- Desa Bali Aga (Bali Mula), yaitu desa adat yang masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Kebanyakan berada di sekitar Kintamani dan daerah pegunungan lainnya di Bali. Perangkat pimpinan desa yang disebut dulu-dulu desa. Desa ini umumnya hanya terdiri dari satu “banjar”.
- Desa Apanaga, yaitu desa adat yang sistem kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh Majapahit. Desa-desa ini umumnya terletak didaerah Bali dataran. Kepemimpinan pada desa adat tipe ini umumnya merupakan pola tunggal, disebut prajuru desa.
- Desa Anyar (Desa Baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai akibat dari adanya perpindahan penduduk (transmigrasi lokal) dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti ini misalnya dapat ditemui di daerah Jembrana dan Buleleng Barat.
Prajuru Desa Pakraman dan Perangkat Desa.
- Desa atau keperbekelan, biasanya terdiri dari beberapa “dusun” atau “banjar”. Kelurahan, pada umumnya terdiri dari beberapa “lingkungan”. Perangkat pimpinan desa atau keperbekelan disebut “perangkat desa”, dipimpin oleh seorang “kepala desa” atau “perbekel”. Perangkat pimpinan kelurahan disebut “perangkat kelurahan”, dipimpin oleh seorang “lurah”.
- Desa pakraman pada umumnya terdiri dari beberapa banjar, tetapi adakalanya juga hanya terdiri dari satu banjar. Pimpinan desa pakraman disebut “prajuru desa”. Pucuk pimpinannya disebut “bendesa”.
- Pimpinan banjar disebut “prajuru banjar”, dipimpin oleh seorang “kelihan banjar”. Pimpinan dusun disebut “kepala dusun”, dan pimpinan lingkungan disebut “kepala lingkungan”.
Desa Pakraman dan Desa
Karena
persyaratan dan dasar pembentukan desa adat dan desa (dinas) berbeda, maka
batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukung kedua desa tersebut tidak
selamanya sejalan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan, yaitu :
- Satu desa, terdiri dari satu desa pakraman.
- Satu desa, terdiri dari beberapa desa pakraman.
- Satu desa pakraman, terdiri dari beberapa desa.
- Salah satu banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa Pakraman C (terletak di Desa B).
- Salah satu banjar di Desa Pakraman A (terletak di Desa B), menjadi bagian dari Desa Pakraman C (terletak di Desa D).
Tugas dan Wewenang Desa Pakraman
Dalam
Perda Prop. Bali Nomor : 3 Tahun 2001 (Desa Pakraman), hal ini diatur pada
pasal 5 dan 6, yang menentukan bahwa tugas dan wewenang desa
pakraman, adalah sebagai berikut :
Pasal 5:.
- Membuat awig-awig.
- Mengatur krama desa.
- Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.
- Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
- Membina dan mengembangan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik saguluk salunglung sabayantaka(musyawarah mufakat).
- Mengayomi krama desa.
Pasal
6 mengatur mengenai wewenang desa pakraman, sbb :
- Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat
- Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana.
- Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Prajuru Desa Adat/Pakraman
Perangkat
pimpinan desa adat/desa pakraman disebut prajuru desa. Pada
umumnya, diketuai oleh seorang bendesa adat dan dibantu oleh
beberapa orang petajuh (wakil), penyarikan (juru
tulis), petengen (bendahara), dll. Adanya tiga tipe desa
pakraman di Bali (Bali Aga, Apanaga dan Bali Anyar), disertai dengan
sifat otonom yang dimiliki (seperti telah dikemukakan secara singkat diatas),
menyebabkan terbukanya peluang bagi masing-masing desa pakraman untuk mengatur
rumah tangganya sendiri.
Kenyataan
ini mendorong munculnya berbagai perbedaan dalam hubungan dengan cara pemilihan prajuru, struktur prajuru dan
mekanisme pembagian tugas diantara sesama anggota prajuru, pada
masing-masing desa pakraman. Contohnya, di Desa Pakraman Sebetan, Selumbung
(Karangasem) dan Kubutambahan (Singaraja), bendesa adat ditunjuk
berdasarkan keturunan. Kalau di Desa Pakraman Singapadu dan Tangsub
(Gianyar), bendesa adat ditunjuk berdasarkan urutan pipil desa (daftar
absen) atau tempat kediaman (dikenal dengan sebutan ririgan).
Ada
juga yang ditunjuk berdasarkan senioritas (mauluapad). Cara
ini dapat dilihat pada desa-desa Bali aga, seperti di Desa Pakraman
Trunyan, Penglipuran (Bangli), dll. Tetapi untuk desa
pakraman pada umumnya (Desa apanaga dan Bali anyar), pucuk pimpinan desa
adat (bendesa adat atau apapun namanya), dipilih secara
langsung oleh krama (warga) desa bersangkutan, melalui
musyawarah mufakat atau suara terbanyak.
Fungsi dari Prajuru desa di suatu desa Pakraman adalah:
·
Mengatur hubungan
Krama Desa dengan Kahyangan.
·
Mengatur pelaksanaan
upacara Panca Yadnya dalam masyarakat setempat.
·
Mengatur hubungan
sosial masyarakat antar sesama warga Desa.
·
Mengatur penguasaan/
penggunaan Setra (kuburan adat Bali)
·
Mengurusi aset-aset
milik Desa adat seperti tanah, sawah dan barang-barang lainya
·
Menjaga keamanan,
ketertiban dan kedamaian masyarakat
·
Menetapkan
sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat sesuai peraturan (awig- awig)
yang disepakati bersama.
·
Menjaga keamanan,
ketertiban dan kedamaian masyarakat.
·
Memberikan
perlindungan hukum bagi Krama Desa
·
Mengikat persatuan dan
kesatuan antar sesama Krama Desa
Masa Pengabdian dan Olih-olihan Prajuru
Berkaitan
dengan masa pengabdian prajuru, umumnya desa pakraman menetapkan
masa pengabdian prajuru selama 5 tahun. Desa Pakraman Rendang,
Karangasem, 8 tahun. Ada juga masa pengabdian prajuru yang
“tidak karuan”. Artinya, walaupun masa pengabdiannya jelas ditentukan dalam
awig-awig, tetapi prajuru (khususnya bendesa adat),
seolah-olah ditetapkan seumur hidup. Contohnya di Desa Adat Taro Kaja, Desa
Adat Manukaya Anyar. Di desa pakraman ini rata-rata bendesa adatnya telah
mengabdi diatas 30 tahun.
Beberapa peristiwa lucu terjadi sekitar
lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 dan segera setelah pemilu 1999.
Beberapa desa pakraman memanfaatkan suasana kurang menguntungkan saat itu,
dengan maksud melengserkan (istilah kerennya “mereformasi”) prajuru yang
sepak terjangnya dianggap tidak sejalan dengan lingkungannya. Prajuru mendapat
penghargaan (semacam tunjangan atau keistimewaan) dari warganya, yang dikenal
dengan olih-olihan (berupa leluputan, tanding tengah,
dll).
Awig-awig Desa Pakraman
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai
sebagai pedoman dalam pelaksanaan tri hita
karana, sesuai dengan desa mawacara dan
dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing.
(Pasal
1 nomor urut 11 Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman). Selain itu, awig-awig juga dibuat
oleh organisasi tradisional Bali (sekeha, subak, pemaksan,
dll), dan berlaku hanya untuk lingkungan organisasi bersangkutan.
Sebutan lainnya, sima,
dresta, adat, gama. Umumnya awig-awig itu tidak tertulis. Kalau ada satu
dua ketentuan yang ditulis, hal ini (pada mulanya) disebut pengeling-eling atau tunggul (catatan).
Sekarang banyak yang telah tertulis, yang disebut awig-awig tertulis.
Pada mulanya awig-awig ditulis di atas perunggu,
kemudian ditulis diatas lontar, dan belakangan
ini ditulis diatas kertas.
Danda atau Sanksi
Sanksi
adat dikenal pula dengan sebutan danda. Secara umum,
sanksi adat dapat dikelompokkan menjadi tiga yang dikenal
dengan tri danda, terdiri dari : arta danda (sanksi
berupa materi, misalnya berupa denda), jiwa danda (sanksi
jiwa, misalnya pengaksama atau minta maaf) dansangaskara
danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan
ajaran agama Hindu).
Beberapa jenis danda, antara lain :
(1) Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban
melaksanakan sesuatu pekerjaan, sebagai pengganti atas kesalahan yang
dilakukan). (2) Danda arta, dosa saha panikel-panikelnya miwah
panikel-panikel urunan (Denda berupa uang beserta denda tambahan
atas kelalaian membayar).c. Rerampagan(Dirampas). (3) Kasepekang (Dikucikan). (4) Kawusang
mekrama kawaliang pipilnyane (Diberhentikan sebagai warga dan sekalian
mengembalikan catatannya).
Masalah Desa Pakraman
Perlu ditegaskan bahwa kehidupan desa
pakraman pada era otonomi daerah dan
globalisasi seperti sekarang ini, bukannya semakin
ringan, melainkan justru bertambah berat. Masalah yang
harus dihadapi semakin rumit dan tekanan yang datang
lebih menghimpit, baik yang dari dalam maupun dari luar desa
pakraman.
Masalah dari dalam, antara lain
: (1) Ada tuntutan sebagian warga desa untuk penyamarataan tetegenan
desa (berbagai kewajiban terhadap desa pakraman), dengan
mengatasnamakan HAM. (2) Adanya perangkat desa (prajuru dan awig-awig),
yang sulit disesuaikan dengan globalisasi (masyarakat dan budaya moderen). (3)
Adanya tuntutan untuk mengerti arti sarana upakara secara
berlebihan. (4) Banjirnya tamiu (pendatang)
dari berbagai tempat dan penjuru dunia. (5) Munculnya
nilai-nilai baru, serta berbagai pekakas (sarana)
berteknologi canggih, yang kadang-kadang matinjakan dengan nilai-nilai budaya
Bali.
Upaya Mengatasi Masalah
Bila desa pakraman
(dalam hal ini krama desa, prajuru desa)
ingin mengatasi masalah tersebut, caranya antara lain, berusaha
untuk memanfaatkan dengan baik dan benar kekuatan yang dimiliki oleh desa
pakraman dan mengurangi kelemahan desa pakraman.
Untuk itu,
ada beberapa langkah penting yang sepatutnya dilakukan antara lain : (1) Lebih
mengetahui dan memahami keberadaan desa adat/pakraman, baik bagi krama desa
maupun tamiu. (2) Membuka peluang kearah peningkatan kualitas
(otak, otot dan ekonomi) krama desa
pakraman, dengan jalan memberikan kesempatan kepada warga
desa yang mempunyai potensi dibidang tertentu,
untuk berkembang dan mengabdi kepada desa pakraman, sesuai profesi dan
keahliannya.
Daftar Pustaka
SARAD/104/Desember 2008.
Komentar
Posting Komentar