Ngaben
NGABEN
Latar Belakang
Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat. Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.![]() |
Proses "Pakiriman Ngutang" yakni proses mengarak - arak pepaga (pengantar jenazah) |
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut
kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan
terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad
seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara
ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan
disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai
“Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
gambaran secara ringkas dan jelas tentang segala sesuatu mengenai Upacara adat
Ngaben. Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses
kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh)
kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan
memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada
alamnya, yakni alam Pitra.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi kealam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat
pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak
mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun.
Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun.
Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun.
Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem (dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.
Manfaat
Mempermudah masyarakat untuk memahami makna dari ngaben,
tujuan ngaben, serta asal – usul dari ngaben.
Pengertian Ngaben
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran
mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi
ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari
kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif
(melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku
untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini
kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben atau meyanin dalam
istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa.
Kata
atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa
asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai
pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita
dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk
umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas
mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang
berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan
jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali,
yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu
yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan
prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara
membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling
cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan
arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar.
Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain
katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari
kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang
terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”.
Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”. Adapun yang dimaksud api di
sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara
ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai
manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api
yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api
yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala
(abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang
membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata
yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api
praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan
memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan
“pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting,
dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa
harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya.
Upacara
Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga
upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline
tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha
pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus
tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan
mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari
Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam
semesta ini.
Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini
tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di
alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan
untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan
kelanjutan dari “Ngaben”.
Di dalam buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan
tahun 2001, tepatnya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda:
40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;
“Wahai manusia, badanmu yang dibuat oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya akan mendapat moksa.
Oleh karena itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah perbuatanmu.”
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam hal ini kitab
yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya harus
dibuat menjadi abu agar atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara
ngaben langsung bisa mencapai surga atau moksa? Jika menurut kami
sepertinya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas
pada kalimat terakhir. “Ingatlah perbuatanmu” tentunya ketika kita sudah
meninggal kita akan mempertanggung jawabkan perbuatan kita semasa hidup. Apakah
pantas atau tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.
Menurut Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis
yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah
badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak.
Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam
pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara).
Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu
prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni
bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan
yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll.
Teja adalah api
yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa
adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah
sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis
makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis),
Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana (asin).
Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana didalam tubuh
diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel
telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan
bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi.
Sisanya menjadi
air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari. Percampuran kedua kama ini dapat
menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk
kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa,
dalam asyiknya menikmati rasa.
![]() |
Proses Penyucian Jenazah |
Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi
janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu.
Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma
Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara.
Citta terdiri dari tiga unsur
yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk
akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan
dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira.
Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan
oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan
muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan
pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira,
atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal
badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak.
Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh). Untuk tidak terlalu lama atma
terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat
proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta.
Demikian juga
bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan
keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben. Kalau
upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan
kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya
akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :
“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering mrana ring rat, etemahan gadgad”
Artinya:
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)….” (lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).
![]() |
Prosesi "Ngajum" yakni proses melepaskan Atma dari badan kasar dari orang yang sudah meninggal |
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang
disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
1. Ketuhanan / Brahman
Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta
isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua
ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan
kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya
alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang
menjadikan manusia ke asalnya.
Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu
Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi
agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses
menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep
Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman /
Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
2. Atman (roh)
Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia.
Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes
kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali
kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan
upacara.
3. Karma
Manusia hidup tidak
bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah,
Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha
karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat
keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma akan kembali
keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan
menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha
untuk membebaskannya.
Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa
bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan
pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang
salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4. Samsara
Artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini.
Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi
manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu
perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk
melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan
tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang,
recedana, dan lain-lain.
5. Moksa
Artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan
harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya
moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya
dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan
sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir
Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini
mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain
mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
Unsur Metafisika dalam Ngaben
Setiap filsuf atau aliran dalam memahami prinsip pertama
menggunakan cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam pemikiran filsafat
kita menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai yang
paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran
kosmosentris, theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke
gramatologisentris.
Masing-masing memiliki watak, titik pijak, perspektif, dan
orientasi yang berbeda. Telah ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap
sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses
pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang lalu dituangkan
melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena itu “proses
pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip
pertama dalam ontologi upacara ngaben.
Jenis – jenis Ngaben Sederhana:
1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan
bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan
alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada
alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum
diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan
atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha
sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi
dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.
Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur,
yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben
yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya
yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda
Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini.
Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi
nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut
ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan
di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
![]() |
Proses Pembakaran Jenazah |
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang
mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah
dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin.
Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati.
Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian.
Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa
sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan
ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi
Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun
pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa
Prana Wa.
5. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben
yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat,
meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat
dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama
sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan)
sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana
18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana
sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup.
Tiga hari sebelum pengabenan
diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui
dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan
bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat
dilakukan di Jaba Pura Dalem.
Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan
semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara
ngaben sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang
baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem.
Ngaben sarat terhadap
sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat terhadap
sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka maupun sawa
wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya
yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang
panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap
kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
Jenis-jenis Ngaben Sarat :
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah)
yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
1. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal
disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang
baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan
yaitu begitu atma atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di
rumah seperti dimandikan, diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana,
dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu.
Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah yang disebut Sawa
Prateka.
2. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di
pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben
yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug).
Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada
tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya
sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana.
Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang
telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan
lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau
kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari.
Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini
disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.
Pembagian Ngaben Menurut Caranya
Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik
ngaben sederhana maupun ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari
cara pelaksanaannya yaitu :
Ngaben Langsung
Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan zat kimia lainnya.Ngaben Massal (Ngerit)
Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana,![]() |
Proses Kremasi Ngaben Massal / Ngerit |
karena urusan biaya, sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai
keluarga meninggal dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben
masal inilah, kuburan itu digali lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa
dari mayat tersebut. Sisa tulang atau yang lain, akan dikumpulkan dan
selanjutnya dibakar. Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran
mayat, abunya kemudian dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan
arwah di laut tersebut, sebelum akhirnya ditempatkan di pura keluarga
masing-masing. Disinilah biasanya seperti dijelaskan dihalaman lain tentang
pura keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk memuja tuhan
juga untuk memuja para leluhurnya.
Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan cerminan
dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil
dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap
kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul
diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam
melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben. Bergeraknya matahari ke utara
atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia,
seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap
kehidupan di Bumi, lahir bathin.
Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan
dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa,
khususnya dewasa ngaben sarat. Bila kita perhatikan keadaan sasih yang
disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia)
maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk
upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
Kesimpulan
Dari semua uraian dan penjelasan Upacara Ngaben, sebagai
penutup dapatlah disimpulkan sebagai berikut : Ngaben adalah upacara pemberian
beya atau bekal bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat,
tawulan atau awak-awakan Sawa (jenasah) untuk mempercepat proses kembalinya unsur
Panca Maha Bhuta ke asalnya.
Ngaben dapat dibagi dua yakni ngaben sarat dan ngaben
sederhana yakni ngaben yang dilakukan dengan cara sangat sederhana. Ngaben ini
terdiri dari : Mitra Yajna, Pranawa, Swasta, dll. Ngaben sarat adalah ngaben
yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan
peralatan lainnya. Ngaben sarat ini terdiri dari dua jenis yakni sawa prateka
dan sawa wedhana. Kendatipun ada perbedaan dalam materi, maupun manfaat kedua
jenis ngaben ini sama saja (utama juga ia, wenang ingangge der sang catur
janma).
Upacara ngaben dilandasi oleh pemikiran akan hakekat
kehidupan sebagai manusia, yang berasal dari Tuhan untuk kembali kepada Tuhan.
Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya
hari-hari baik (dewasa). Semua peralatan dan sarana Ngaben terutama sekali pada
Ngaben Sarat, adalah merupakan simbol-simbol yang bermakna. Ngaben adalah
merupakan swadharma pretisantana untuk menunukkan rasa bakti yang mendalam
terhadap leluhurnya.
Meninggal yang tidak wajar dalam umat Hindu dikenal dengan
istilah Salah Pati (dicari mati seperti contohnya : kecelakaan), dan Ulah Pati
(mencari mati seperti contohnya bunuh diri). Demikianlah penjelasan tentang
upacara ngaben yang merupakan suatu proses ritual yang dilakukan oleh
masyarakat bali.
Komentar
Posting Komentar